Wednesday, November 22, 2006

Duh Jerawat...obatnya susah amat

Akhir-akhir ini saya sering sekali jerawatan, sepertinya saya sekarang sedang mengalami fase jerawat dimana mana , padahal umur saya itu DUA DELAPAN, masa ABG akil balik itu udah lewat lamaaaa sekali.

Saya sudah berusaha meninggalkan baik yang mitos mupun yang bukan tentang jerawat. Merokok ? jarang. Makanan pedas dan berminyak ? menu saya sekarang ini tempe dan sayur. Jarang olahraga ? saya naik sepeda 5 km tiap harinya. Perawatan wajah ? eits jangan salah, saya rajin cuci muka dan facial. Saya sudah mencoba beberapa dokter kulit, tapi mereka saya tinggalkan karena ternyata nggak ngaruh, saya toh tetap jerawatan. Kalau sudah begini saya pasrah saja untuk facial meski sakit. Biasanya setelah satu jam penuh meringis dan air mata, muka saya mendingan meski dua minggu berikutnya musim jerawat bersemi kembali.

Waktu saya berbaring, saya menanyakan hal iseng (yang saya sudah tahu kira-kira jawabannya), “ Mbak jerawat itu karena apa ya, saya cape deh , perasaan saya sudah nggak umurnya jerawatan". Mbak yang meladeni saya awalnya diam , lalu bertanya. “Umur berapa sih Mbak?”, sambil membalurkan cairan putih ke muka saya dan memijatnya. “ 28 “, jawab saya dengan mulut yang susah terbuka. “ Ah masa sih, saya kira masih kuliahan” (ini bener lho dia yang bilang, dan ini bukan pertama kali orang bilang begitu tentang saya he he he ). Tak lama kemudian sambil memijat perlahan muka saya, dengan kalem dia bilang, “ Gampang Mbak obatnya jerawat itu, kalo udah 28 sih kawin aja”. Saya tidak tersedak karena tidak sedang minum, (ah standar banget tersedak, kayak di film film aja). Sebagai ganti tersedak saya protes, Mbak ini rese banget, itu solusi yang paling susah tauk !.

Karena kawin itu masih di awang awang buat saya, sepertinya saya harus terbiasa berjerawat. Bahkan saya bisa memprediksi berapa lama saya harus begini, dan hasilnya cuma satu, riset percintaan menyatakan kalau saya harus s a b a r …. Fiuh, menyebalkan sekali jerawat ini, kalau ada cara lain pasti saya akan cari dan usaha kemana saja. Sayang, obat itu nggak dijual, kalaupun punya resep obatnya, saya tidak tahu harus menebus di apotik mana. Anda tahu?

Monday, November 20, 2006

sesuatu indah pada waktunya
sesuatu hilang pada waktunya
kosong itu selalu ada menemani
kini sepi menyambutku kembali
Tentang kata dan air mata...


Saya suka menulis. Nulis dari yang gak penting, yang penting , sampai yang super penting . Itu dimata saya. Mungkin yang gak penting itu lucu ditawamu, menarik dimatamu, bahkan mungkin romantis dihatimu, atau malah jadi inspirasi untuk diceritakan ke pasanganmu.

Silahkan saja cerita. Monggo mawon, saya sih senang kalau tulisan, corat coret ini menjadi inspirasi, bisa bikin tenang, adem. Yang tadinya suntuk bisa tersenyum, yang tadinya bahagia bisa lebih bahagia lagi. Yang tadinya senang bisa terharu bahkan menitikkan air mata. Air mata boleh kok mampir ke pipi. Kadang mereka saling kangen satu sama lain, pipi merindukan air mata dan sebaliknya. Dan ketika mereka bertemu aliran yang terbentuk itu indah sekali, bening...sejuk... dan melegakan. Tidak ada kata cengeng ketika pipi dan airmata bertemu, yang ada hanya syahdu dan perasaan senang dapat bertemu.

Ah saya puitis , kata-katanya suka merayu rayu ...

(saya ambil dari coretan tahun 2005 )

Wednesday, November 15, 2006

Tas Saya Buanyak


Di lemari saya ada banyak tas, saya suka sekali sama tas. Mulai dari yang dikasih sama tante atau ibu saya alias lungsuran, sampai yang saya beli sendiri. Setelah saya ingat-ingat ketertarikan sama tas ini saya miliki sejak masih kecil, TK tepatnya. Saya ingat sekali saya melihat tas yang saya suka dan merasa harus punya tas itu. Bukan tas anak-anak milik teman saya yang saya idam-idamkan, tapi tas tante saya. Tas yang kelihatannya dulu besar padahal kecil yang isinya kalau sekarang cuma muat dompet dan hape,serta notes imut.

Saya lupa bagaimana proses tas itu bisa pindah ke tangan saya, tapi saya ingat menylempangkan tas itu ke pundak. Model tas itu perempuan sekali, ada tutupnya dan pengait di ujung lidahnya, bentuk keseluruhannnya seperti setengah lingkaran. Sadar karena itu tas model ibu-ibu, saya tidak pernah membawanya ke sekolah, tapi saya menikmatinya di luar jam 07.00-11.00 . Saya kadang cuma melihatnya, saya elus elus dan saya senang memakainya di depan kaca.

Seingat saya, koleksi tas saya itu aneh-aneh, ada yang temanya laut, (ada jangkarnya lho), ada yang lukisan diatas belacu, ada yang didalamnya kain bergambarkan komik hitam putih, ada yang bagian luarnya Tintin lagi in action. Tas saya yang lain kebanyakan polos model slempang dan warnanya nggak jauh dari warna favorit, coklat.

Saat ini saya sudah melewati fase tiap hari berlama-lama di depan kaca untuk memilih tas yang mana akan saya pakai. Itu buang buang waktu !. Saya memilih tas sesuai dengan kebutuhan sehari-hari, malah kadang saya tidak ganti tas selama seminggu. Lagipula saya berjanji tidak akan membeli tas lagi kecuali untuk kebutuhan traveling, yang ini saya belum punya ( dan lagi tas traveling saya sudah rusak retsletingnya, umurnya saja sudah 4 tahun). Yang saya inginkan sekarang ini merasa cukup dengan tas tas saya. Bener deh…Swear…

Tuesday, November 07, 2006

Dia dan waktu


Saya pernah baca buku yang bilang kalau bentuk cinta terbesar itu adalah memberikan waktu untuk orang lain. Kenapa? Karena waktu itu tidak tergantikan oleh apapun. Waktu berjalan lurus, konsisten, searah, tidak pernah terputus dan berbalik. Waktu memang memberikan kesempatan untuk menghela nafas, mengedipkan mata, merasakan kekosongan, tapi dia tidak pernah berhenti.

Untuk masalah hati, rasanya tidak ada patokan waktu berapa lama seseorang akan memberikan waktunya untuk orang lain. Bahkan dengan kesadaran kalau sesuatu yang tak tergantikan itu tadi, ia terus sediakan untuk seseorang yang mungkin tidak membalasnya dengan waktu. Teman saya ada yang bertahun-tahun menahan perasaannya untuk seseorang, dia baru berani bilang suka saat tahun ketiga. Waktu dalam bentuk yang lebih indah itu baru berjalan empat bulan, setelah itu hubungan selesai. Teman saya yang lain menunggu adanya mahluk kecil yang bisa bertahan di kandungannya. Tahun ini sudah menginjak tahun ketiga.

Saya juga sedang dicobai oleh waktu dalam memahami seorang manusia. Prosesnya meletihkan sekaligus menyenangkan. Naik dan turunnya itu ada kalanya membuat saya tidak tahan. Seperti saat ini ketika saya merasa di ujung waktu, saya ingin berhenti di titik yang saya anggap cukup. Tubuh saya bilang cukup. Saya ingin berhenti di sini dan lari.

Sudah cukup waktu yang saya berikan buat dia, sudah cukup lama dan sudah cukup banyak. Saya ingin berhenti di titik yang saya anggap indah, saat melihat dia tersenyum. Sehingga kalau saya menoleh ke belakang, maka yang ada hanya senyum lebar dan mata jenakanya. Hanya shot-shot cantik. Itu satu jam yang lalu.

Tapi kini saat saya melihat dia lagi, tubuh saya mulai menikmati dia kembali. Tiba-tiba saya punya energi lagi untuk menyediakan waktu buat dia, meski saya tahu resikonya, waktu saya untuk yang lain akan berkurang dan yang lebih berat lagi saya akan naik turun lagi. Tapi, teman saya yang barusan putus itu juga tetap menggunakan waktunya untuk diam-diam melihat kembali puisi yang ia ciptakan untuk mantan kekasihnya itu. Teman saya satunya tetap ceria untuk berusaha hamil.

Waktu memberikan kita kesempatan mengenang dan berjuang untuk orang-orang yang kita sayangi. Saat ini saya melihat orang yang saya sayangi sedang sibuk dengan hapenya. Hanya melihat dia saja saya sudah senang, raut mukanya kadang mikir, kadang cuek, kadang tidur. Sekarang ia sedang….(sebentar ya kasih saya waktu). Baru saja dia memberikan lima detik melalui senyumnya. Senyum itu saya simpan sebagai modal energi untuk terus menyediakan waktu untuk dia. Rasanya saya belum ingin berhenti. Saya masih punya cukup tabungan waktu untuk dia,
entah untuk berapa lama…

Thursday, November 02, 2006

Sekali .... Tetap .....


Saya itu penakut setengan mati, untuk mandi saja saya pernah minta ditunggui oleh tiga orang teman. Padahal saat itu di rumah itu sedang ada acara, jadi banyak orang. Saya kadang-kadang memang terlalu.

Herannya, saya malah jatuh cinta sama rumah kontrakan penuh simbol horor. Rumah tua dengan halaman besaaaaar. Tepat di depan rumah ada pohon kamboja yang menurut saya cantik. Apalagi kalau bunganya sedang berguguran jatuh diatas rumput hijau di halaman saya, paduan yang sering bikin saya berlama-lama di teras rumah.. Di samping rumah tumbuh pohon-pohon pisang yang menghiasi sebuah sumur timba. Kalau saya pulang malam, rumah saya temaram dan mereka eyecatching sekali. Tapi entah kenapa saya tidak terlalu takut. Saya kadang malah melihat mereka dengan sengaja. Saya nyaman-nyaman saja tidur sendiri.

Tapi ada peristiwa yang menggoda keberanian saya. Hari itu saya menemukan bendera putih di ujung jalan menuju rumah saya. Saya terkesiap, waduh siapa yang meningggal. Saya dengan penasaran berjalan ke arah rumah, dari jauh saya melihat banyak kursi plastik berjejer, sepertinya di dekat rumah. Semakin dekat semakin jelas, banyak orang berkerumun tepat di depan rumah saya. Saya kaget setengah mati ketika ada keranda kosong tepat di halaman rumah saya. “ Yang meninggal depan rumah situ, Mbak “ kata Nana tetangga saya. Saya cepat-cepat berganti baju dan melayat ke rumah yang terletak di gang depan rumah saya. Kakek yang meninggal itu sudah berumur hampir seratus tahun. Saya merasa lebih tenang setelah melayat. Saya merasa sudah ‘kenalan’ dengan yang meninggal, jadi jangan diganggu ya Eyang.

Ketika menginjak halaman rumah, saya tidak tahu harus ngomong apa karena pohon pisang di samping rumah ditebang dan sisanya dibiarkan begitu saja. Pohon pisang itu letaknya tepat di samping jendela saya. Di balik jendela yang itu juga adalah pojok membaca favorit saya. Saya menaruh sofa empuk lengkap dengan buku-buku bacaan kesayangan. Jadi hari itu saya yang "berani" absen membuka jendela dan memilih untuk ngungsi ke rumah teman beberapa hari. Ternyata sekali penakut tetap penakut…
Si Bijak

Baru kemarin Ayu, sahabat saya tiba-tiba ngomong, “Aku mau married, Conk”. Saya tidak kaget. Kalau saya jadi dia (mungkin semua orang), saya juga akan melakukan hal yang sama. Dia akhirnya merasa cukup dengan satu orang yang mau jadi teman sampai nanti entah kapan, sayang-sayangan, saling menggerutu tapi selalu menyimpan rindu dan bla bla lainnya, sesuatu yang sebenarnya selama ini saya cari. Desember nanti Ayu lamaran.

Sekarang, kakak saya yang duduk di sebelah saya bilang kalo dia mau punya anak banyak, sementara calon istrinya yang di depan saya sibuk ngemil sambil sms-an. Mereka juga akan menikah setelah sekitar 5 tahun pacaran. Saya juga nggak kaget, yang ada saya takut kehilangan…

Bayangkan tahun depan sedikitnya akan ada dua pernikahan orang-orang terdekat saya, sahabat dan kakak saya. Dua manusia yang sangat mengerti saya, yang memberi tempat bagi saya menjadi diri sendiri sekaligus menjadi “tempat sampah”. Mereka nantinya akan sibuk dengan pasangannya, dengan mahluk-mahluk mungil yang akan muncul satu persatu. Namun saya tetap sendiri…

Tapi kemudian saya berpikir, kalau sesuatu itu hilang, maka itu bisa terisi dengan yang lain, tapi bukan sesuatu yang bisa menggantikan. Saya yakin meski nanti waktu mereka tidak lagi banyak untuk saya, saya tidak akan kehilangan siapa-siapa. Ayu ada dan kakak saya tetap di sana, hanya saja dalam bentuk yang berbeda. Dan saya juga mungkin tidak sendiri lagi, celah hampa dalam gelas kosong itu akan terisi kembali, bahkan mungkin bukan cuma air putih, tapi air sirup yang manis atau es blewah yang menyegarkan. Jadi saya tidak menunggu, tapi bersahabat dengan waktu. Saya yakin, di suatu hari nanti … ( ck ck aku wise ya heheheh)

Tuesday, October 31, 2006

Finally i'm happy for u...


Akhirnya saya dapat sms dari kakak saya : Adik, aku udah di tempat Fila, sini ya. Dari kemarin saya sudah mencoba menelponnya, tapi nomor mentarinya redup terus. (saya udah nggak tau mau ngomong apa lagi karena nomor saya yang 0816 titik titik itu juga susah banget di hubungi orang. Ih Indosat, cape deh ). Saya tadinya ingin menjemput kakak saya, Bombi di Bandara, tapi ternyata dia sudah ada yang menjemput. Entah siapa tapi pastinya itu dari keluarga pacarnya, Fila, karena dia pergi ke Padang bersama Fila dan adiknya, Marcel untuk berlebaran dengan ayah mereka.
Beberapa saat sebelum dia datang, saya menunggu nunggu adanya hari ini, sama seperti dulu ketika saya menunggu kapan ibu dan ayah akan membawa saya pergi ke Tawangmangu saat libur sekolah tiba. Saya sudah membayangkan akan ngapain saja sama kakak saya, saya ingin pamer rumah kontrakan saya, saya ingin cerita tentang ini, saya mau curhat tentang laki-laki itu.
Tapi entah kenapa sekarang perasaan saya datar saja justu ketika dia sudah datang. Malah saya mulai mencari alasan agar saya tidak datang ke sana. Kakak saya bukan datang untuk saya. Saya mencari hiburan dengan pergi ke sahabat saya yang saya tahu dia selalu menerima saya dalam keadaan apapun. Dan benar, meski dia sedang pacaran, ia tetap ada untuk saya. Saya merasa jauh lebih baik. (makasih Ayu)
Besoknya, pagi-pagi benar saya ke rumah Fila. Mereka sedang makan pagi, dan seperti biasa mereka selalu hangat sama siapa saja, apalagi sama saya, tapi tidak ada orang yang menanyakan kenapa saya baru datang (pertanyaan basi tapi ternyata saya perlukan)
Kakak saya mengelus kepala saya . “Adik, kamu datang…”. Saya diam saja dan menghindar dari tatapan matanya sambil sok sibuk ikutan makan pagi. Lalu obrolan mereka mengarah ke pernikahan Bombi dan Fila yang segera terlaksana. Hmmm.. jadi tadi malam kakak melamar.
Saya udah tau rencana ini tapi saya tidak mengira kakak saya akan membicarakan ini tanpa curhat ke saya. (Tapi apa yang saya dapat lakukan, yang menikah juga bukan saya). Saya melihat ke kakak saya yang duduk di sebelah saya, matanya bersinar-sinar, wajah calon istrinya sangat cerah. Saya baru sadar, bahwa sebenarnya keputusan menikah itu sangat personal. Saya jadi menyesal tidak datang semalam, pasti saya bisa melihat kebahagiaan lebih dari hari ini. “Kakak, adik semalam bukan lagi autis, tapi autis egois” (kata lain untuk meminta maap)…

Friday, October 20, 2006

Tetangga Tercinta

Awalnya saat mencari rumah kontrakan, saya tidak pernah terpikir akan dekat dengan tetangga. Maklum, saya dari kecil tinggal di kompleks yang antara rumah ada pagar dan tembok. Rumah kontrakan baru saya sekarang tidak berpagar dan bertembok tipis, sehingga saya bisa mendengar obrolan tetangga dan mereka bisa mendengarkan musik jazz yang saya setel.

Saat melihat rumah kecil dengan taman rumput hijau yang cantik ini, saya jatuh cinta dan bersedia untuk "berkorban". Saya akhirnya memilih untuk tinggal di kampung ini agar benar-benar merasakan bertetangga. Nama tetangga saya Nana, dia 5 bersaudara, rumahnya hanya berjarak beberapa meter dari rumah saya. Karena merasa sudah dekat, kalau mereka ada perlu maka dari jauh saya sudah mendengar suaranya sebelum melihat orangnya. “ Mbaaaak Sisiiii …” lalu pintu saya dibuka perlahan dan muncullah Nana.

Dari hal yang kecil seperti meminjam gunting, obrolan bisa panjang ngalor ngidul, tempatnya juga bukan di ruang tamu saya, tetapi jongkok di depan pintu di lorong gang imut di samping rumah saya. Pesertanya biasanya nambah, adiknya datang lalu kami ngobrol dengan tema beda, berlanjut lagi dengan adiknya yang baru bangun tidur dan ikutan jongkok. Kalau sore, tetangga saya yang datang adalah gerombolan bocah berumur 4 atau 5 yang bersepeda muter-muter di halaman rumah dan biasanya berakhir dengan makan kue di teras depan.Tak jarang mereka meninggalkan sisa kue itu di tangan saya, " Nggak mau lagi" kata mereka dengan muka polos sambil menyodorkan sisa kue itu ke muka saya. Mereka lalu berpamitan dan ngeloyor pergi dengan sepedanya.

Kalau tadi udah bocah dan remaja, di hari leyeh-leyeh weekend, yang datang adalah eyang yang mengontrakkan rumahnya untuk saya. Eyang putri umur 70 tahun ini ingatannya luar biasa, dia punya 200 novel berbahasa inggris dan lancar berbahasa Belanda, (mungkin karena itu dia suka ngobrol). Pernah saya lagi cape-capenya bersih bersih rumah dan ngantuk, dia datang “ Eh eyang ganggu ya ?”. Demi kesopanan saya cuma senyum manis lalu bilang. “ Saya lagi ngantuk , cape tadi ngepel”. Eh eyang malah masuk rumah, duduk, nunggu diajak ngobrol.

Tadinya saya berpikir kalau pulang ke rumah itu untuk diri sendiri, bukan kerjaan dan bukan untuk siapa-siapa, tapi sekarang saya pulang untuk tetangga. Saya siap sedia nenangga kalo nama saya dipanggil dari kejauhan, " Mbak Sisiiiii..... ".

Tuesday, October 17, 2006

Tukang Jamu apa Tukang Ramal ?

Saya kemarin mengantarkan teman saya, Dian, minum jamu. Saya pikir ini warung jamu biasa dimana saya bertemu kunir asem, brotowali, dll. Tapi Bapak jamu yang ini sebelum meracik jamunya, memegang pergelangan tangan calon peminum, yang waktu itu Dian. Kata Bapak jamu itu ke Dian (yang kemudian saya tahu namanya Pak Wit), “ Kalau lagi mens suka kebablasan ?“. Dian yang nggak tahu bahasa Jawa itu menatap saya dengan dahi berkerut . Saya menjelaskan artinya dan kemudian mereka berbicara dalam bahasa Indonesia yang isinya menguraikan masalah kesehatan teman saya itu.

Gila saya pikir, kok bisa ya dia begitu, cuma meraba pergelangan tangan bisa tahu kondisi dengan lumayan tepat si peminum jamu. Pak Wit memberikan wejangannya ke Dian” Kamu jangan makan yang adem2, pepaya, mangga, timun, bengkoang, nanas, semangka, air es dan kambing, jangan juga melek malam. Itu kalo kamu mau sembuh “. Dibalik badan Pak Wit saya melihat ke arah Dian sambil cekikikan. Emang enak, hihihihi

Saya penasaran, saya juga mau minum jamu, meski saya merasa sehat. “ Kalo saya Pak?”. Saya menyodorkan tangan saya. Pak Wit menyalami tangan saya dan kemudian memegangnya. “ Kamu ini juga nggak sehat, kamu itu sering pusing, sering ngantuk, pelupa, kemrungsung, mangkelan dll.( itu cuma sebagian yang saya ingat. Yang lain masih banyak). Saya kaget kok dia bisa banyak tahu. Dari balik Pak Wit, saya lihat Dian cekikikan.

Kemudian Pak Wit berjalan ke arah tempat dia meracik jamu, di ujung meja yang berseberangan dengan tempat saya duduk. Saya lagi memikirkan apa yang barusan Pak Wit katakan. Saya nggak habis pikir, kok bisa ya. Seketika itu juga saya menganalisa apa omongan kata Pak Wit sambil refleksi diri, ini tukang jamu apa tukang ramal ya, sampe bisa tahu saya pelupa dan kemrungsung, seharusnya kan penyakit saya aja yang dia tahu. Di sela saya berpikir itu Pak Wit dari jauh melirik ke arah saya dan bilang “ Udah , nggak usah diingat-ingat “. Pak Wit tersenyum dan kemudian melanjutkan racikannya. Hah !!!

Sebentar kemudian, dua gelas jamu dan dua gelas penawarnya ada di depan kami. Saya dan Dian saling lihat-lihatan, menunggu siapa dulu yang berani minum. Saya minum lebih cepat , tenyata enak juga. Lalu perut terasa panas dan kami keroncongan, maka kami membayar. Saat mengulurkan uang, Pak Wit melihat ke arah saya “Kamu, pantangannya sama ya , jangan makan yang dingin-dingin !” HAH !!!

Sunday, October 15, 2006

Cerita-cerita tentang saya dan ayah. Laki-laki berumur 60 tahun yang saya pinjam dari ibu untuk beberapa minggu agar bisa menemani saya di rumah kontrakan baru.

Surprise Dalam Toples

Di film-film, adegan berpisah biasanya digambarkan dengan adanya sesuatu yang ingin diberikan sebagai kenang-kenangan. Tidak selalu benda, biasanya lebih pada sesuatu yang emosional: saling berpelukan, cium pipi kiri dan kanan, cium tangan, tatapan lama antara dua mata, tepukan di punggung dan masih banyak lagi.

Kalau saya pergi, Ibu selalu menghentikan aktivitasnya seketika itu juga untuk mengantar saya sampai pagar depan rumah, mencium kedua pipi setelah sebelumnya membuat tanda salib di dahi dan punggung saya. Ritual itu belum selesai, Ibu akan menatap saya sampai hilang dari pandangannya. Sementara ayah biasanya hanya senyam senyum sambil meneruskan kegiatannya.

Jadi dalam perjalanan mengantarkan ayah ke bandara untuk pulang ke Jakarta, saya tidak pernah mengira ayah yang lupa tanggal ulang tahun saya itu akan bercerita kalau dia meninggalkan sesuatu untuk saya. Ayah yang cuek dan anti cium peluk itu meninggalkan sesuatu di dalam toples kesayangan saya. (toples? Saya baru sadar ayah itu produk jaman dulu sekali).

Saya belum tahu sesuatu itu apa. Ayah hanya bilang “ Eh aku ninggalin anu untuk kamu di dalam toples di lemari kaca”. Ayah tidak membahas anu itu apa , saya juga tidak bertanya. Kemudian ayah bercerita kalau dia ketemu temannya di daerah Ketandan. Dulu ayah pernah ditolong sama temannya itu di kala jaman susah dulu ( apa bedanya dengan jaman susah sekarang ya? Sama-sama susahnya). Teman ayah itu punya toko perhiasan. Nama tokonya diambil dari nama pewayangan. Saya ingin sekali menyertakan nama teman ayah itu disini , tapi ayah saja lupa namanya. Kata ayah, “ Aku masuk toko Werkudoro tapi kok nggak ada orang yang mirip dia. Mana aku itu lupa namanya. Aku udah mau pulang karena aku nggak nemu-nemu temenku itu, tapi kok aku liat toko Gatot Koco, aku iseng masuk, eh kok ada yang kayaknya mirip dia”.

Pertemuan itu sepertinya panjang karena ayah sampai dijamu makan siang berupa bakmi goreng dan mereka ngobrol tentang batu akik koleksi ayah saya yang jumlahnya hampir memenuhi toples berukuran sedang.

Mendekati bandara, ayah kemudian berkata, “ Trus temenku itu emasnya bagus-bagus, dia punya tukang sendiri, jadi tadi aku beliin kamu gelang”. Ayah membelikan sesuatu yang tidak pernah saya kira akan dia berikan kepada saya, gelang emas . “ Itu ada suratnya. Surat itu atas namamu, ada dalam dompet, semuanya di dalam toples.

Kalau saat itu saya tidak konsen menyetir dan ayah ada di hadapan saya, mata saya mungkin akan memerah seperti di film-film. Untung ayah saya tidak romantis. Muka ayah biasa saja, menatap lurus ke depan sambil mulutnya terus bercerita, cerita yang tidak bisa lagi saya dengarkan karena diri saya sedang dipenuhi rasa yang tidak bisa saya jelaskan. Toples tua, gelang emas dengan surat atas nama saya, perpisahan, ayah.

Pagi itu masih sepi, saya dapat menghentikan mobil tepat di depan mulut bandara. Sebelum turun dari mobil, ayah sambil senyam senyum berpesan “ Nanti kalau kamu lagi susah, gelangnya dijual saja”. Lalu tanpa babibu ayah yang berambut putih, dengan jalannya yang perlahan, sedikit membungkuk menghilang masuk ke dalam ruang check in. Baru sekarang saya merasa ayah yang tidak romantis itu ternyata begitu romantis.
Ketan Hitam Favorit

Akhir-akhir ini pagi saya diawali dengan suara jeruji sepeda berputar, langkah-langkah kaki di antaranya, gemerincing kunci pintu bertemu dengan lubangnya, dan diakhiri dengan kayuhan sepeda yang makin menjauh. Ayah pergi ke misa pagi. Saya meneruskan awal hari itu dengan memejamkan mata kembali, mencari kehangatan yang lebih erat dengan merapatkan selembar selimut.

Saya baru bangun kalo matahari sudah menembus korden jendela, dan jam weker yang menjerit untuk kesekian kalinya. Setelah mandi, saya mencari hitam manis favorit saya, bubur ketan hitam ke meja makan. Setelah belasan tahun hilang, bubur ini ada kembali di depan hidung. HMmm wangi. Bubur ini kesukaan saya sejak SD. Dan selama itu pula saya tidak pernah menemukan yang legit dan manisnya pas seperti yang dijual encik tua di pasar Pathuk, Yogyakarta.

Berkat ayah , saya bisa menikmati kembali bubur ini. Meski bubur ini terhidang tiap pagi dalam seminggu ini, saya tidak pernah bosan sarapan dengan makanan yang kata teman saya ini lengket. (saya nggak terima waktu dia bialng begitu )

Saya tidak pernah meminta ayah untuk membelikan bubur ini, tapi Ayah selalu menyediakannya tiap pagi di meja makan. Sambil saya makan ayah bercerita kalau ternyata pembuat bubur ini adalah anak dari encik tua yang sudah tidak ada lagi itu. Cerita itu menjawab penasaran saya, masak encik itu masih ada, dulu waktu saya SD saja dia sudah tua. Cerita itu kemudian ayah sambung dengan cerita-cerita baru maupun ulangan yang menjadi nostalgianya di kota yang dulu pernah kami tinggali selama belasan tahun ini.

Pagi hari ini saya tidak terbangun oleh langkah kaki ayah dan bunyi kayuhan pedal sepeda yang menjauh. Saya tidak menemukan bubur ketan hitam. Saya menatap sepeda yang terpajang di dapur, dengan mudah saya bisa saja membeli bubur itu sendiri. Tapi bukan ketan yang saya inginkan. Tiba-tiba saya merindukan hal yang lain, meski cerita ayah itu itu saja. Oh ya, ayah sudah terbang ke Jakarta subuh tadi.

Friday, October 06, 2006

Kalo liat fisik dan kerakter saya yang udah segene gini (umur 28 gt lho ), sepantasnya sudah jauh dari campur tangan orang tua. Tapi seminggu ini, saya diantar dan dijemput oleh ayah saya. Terakhir saya ingat, ayah dan saya punya 'ikatan transportasi' itu waktu ayah masih berumur 30an dan saya masih dengan rambut poni dengan kucir dua, masih bocah SD. Tiap pagi bersama kakak-kakak kami bertiga membonceng di pantat motor yang lama kelamaan menjadi mobil mungil.

Sekarang setelah bertahun-tahun lewat masa itu, saya mengalami kembali masa jemput antar itu. Meski malu sama teman kantor, saya sangat menikmatinya. Rindu saya akan ibu dan ayah setelah saya 'keluar' dari rumah itu terbayar dengan hubungan antar jemput selama seminggu ini.

Ini berawal karena saya pindah kota ke kota asal kelahiran saya, Yogyakarta. Rumah kontrakan saya masih berantakan dan yang paling penting adalah saya takut tidur sendiri di rumah baru. Jadi tujuan besar saya 'menculik' ayah dari ibu adalah untuk menemai saya sampai saya kerasan di rumah baru. Hihihihi. Tujuan itu berkembang menjadi begini, tiap hari ketika saya kerja dikantor , kerja ayah yang sudah pensiun adalah mengetuk-etuk palu di sana sini, memasang selot pintu, membeli sabun cuci, ember, bertanam di halaman rumah, memasang antena tv dll. Hihihihi

Kadang ayah tiba-tiba muncul di kantor dan menunggui saya yang kerja. Kalau begitu pasti ayah sudah bingung mau ngapaian lagi dan pengen ngobrol temuannya pada hari itu, ketemu teman lama atau kok ya Yogya nggak berubah ya.

Saya jadi ingat dulu tiap pulang sekolah saya yang selalu menunggui ayah di kantor. Begitu cepat proses ulang alik masa, sekarang ayah yang menunggui saya. Masih banyak yang mau saya ceritakan, tapi saya sudah mendengar deru mobil ayah dari kejauhan. Sebentar lagi pasti Ayah dengan rambut putihnya itu muncul dari balik pintu. Ini berarti waktu spesial antar jemput dimulai. Saya pulang dulu ya.